Penindasan Kolonialis, Kapitalis dan Peremuan Papua
Bersuara melawan Kolonialisme, Kapitalisme di teritori tanah West Papua |
Perkembangan industrialisasi pada abad 17 dan 18 secara radikal telah mengubah tatanan lama di dalam hubungan keluarga. Dulu kala, sebelum munculnya kepemilikan atas alat produksi dan pembagian masyarakat Jelata atau masyaraskat tingkat bawah, menengah dan atas, perempuan dan laki-laki terlibat dalam proses produksi secara setara, dan punya hak yang sama. Namun, akibat kepemilikan pribadi-lah perempuan terlempar pada kerja rumah tangga dan berkutat di dalamnya.
Memasuki epos Kolonialieme dan kapitalisme Global dam Nasional yang barbar ini, “kodrat” perempuan yang semula berkisar antara kasur-dapur-sumur, menjadi seorang putri-istri-ibu, lengkap beserta kerja domestiknya, saat ini perannya mulai diperluas untuk menempati barak-barak pabrik, dan diberbagai bidang Birokrasi atau Karyawan disuatu Perusahaan berjejer menjadi cadangan tenaga kerja, bekerja sebagai buruh upahan meski upahnya tidak lebih tinggi daripada laki-laki meskipun porsi kerjanya bisa dibilang sama. Dalam logika kapitalisme, pada saat yang sama ini mengembalikan kaum perempuan ke dalam proses produksi sekaligus mengungkung mereka dalam batasan keluarga tradisional, yakni bertugas menyiapkan urusan rumah tangga yang kadang sangat tidak prima akibat Banyak pekerjaan yang diperjuangkan oleh Kaum Perempuan.
Sebagaimana di belahan dunia yang lain, masyarakat meletakkan perempuan sebagai warga kelas dua atau dinomor duakan. Pun di dalam gerakan, kaum perempuan sering kali dipandang sebagai elemen terbelakang yang kesadarannya begitu susah untuk terdorong ke depan, lemah berpikir, dan mengedepankan perasaan daripada otak. Begitulah penilaian atas kaum perempuan, jika kita menggunakan akal sehat. Namun sebagai Kaum Peduli HAM, kita tidak menggunakan akal sehat, kita menggunakan dialektika. Akal sehat (logika formal) tidak mampu memahami hal-hal yang sifatnya kompleks.
Dengan dialektika, kita tahu bahwa setiap hal selalu mengandung benih dari hal lain yang menjadi lawannya. Gampangnya: setiap kemunduran selalu mengandung potensi untuk terjadinya kemajuan, tiap kelemahan dapat dibalik menjadi kekuatan, tiap kekuatan dapat menjadi titik lemah yang mematikan, tiap kelahiran akan membawa kematian dan tiap kematian adalah bahan bakar bagi sebuah kelahiran baru. Dialektika bekerja tanpa kasat mata. Ia adalah proses yang terus berlangsung dan tanpa henti. Tidak melulu berjalan lurus, kadang zig-zag, mengalami proses yang gradual, stagnasi dan kemunduran, bahkan mengalami lompatan-lompatan. Dalam hal ini biasa di sebut dengan proses molekular dalam revolusi.
Kapitalisme dan Perempuan Papua
Saat ini, Kaum Perempuan Papua berjuang melawan penindasan dan diskriminasi dalam segala bentuk, sembari menunjukkan bahwa hanya transformasi yang radikal dari masyarakat dan penghapusan perbudakan Masyarakat jelata yang mampu menciptakan penghapusan perbudakan dalam segala manifestasinya dan pembentukan masyarakat sosial yang berbasis pada kemanusiaan, kesetaraan dan kebebasan. Dalam konteks pembebasan perempuan, penindasan terhadap perempuan berusia sama tuanya dengan saat masyarakat tingkat Bawah, menengah, dan atas, kepemilikan pribadi, dan negara, mulai terbentuk. Penghapusannya pun tergantung pada penghapusan Tingkatan, yakni revolusi sosialis.
Namun, ini tidak berarti bahwa penindasan terhadap perempuan akan lenyap begitu saja saat kekuatan proletar mengambil alih kekuasaan. Warisan psikologis dari kelas yang barbar pada akhirnya akan dapat diatasi secara menyeluruh ketika kondisi sosial diciptakan untuk pembentukan hubungan yang nyata antara laki-laki dan perempuan. Pembebasan sejati kaum perempuan, hanya bisa dilakukan saat proletar menggulingkan Kolonialisme, kapitalisme dan meletakkan syarat-syarat kondisi untuk pencapaian masyarakat tanpa masyarakat tingkat bawah, menengah, dan atas.
Tidak berarti pula, bahwa perempuan harus menunggu datangnya revolusi sosialis untuk memecahkan masalah-masalah mereka, dan sementara itu berserah diri pada diskriminasi, penghinaan dan dominasi laki-laki. Sebaliknya, tanpa perjuangan sehari-hari di bawah masyarakat sosial hari ini, sebuah perjuangan untuk revolusi sosialis tidak akan pernah terpikirkan. Justru melalui perjuangan untuk reforma-reforma lah kelas pekerja secara keseluruhan akan belajar, mengembangkan kesadarannya, memperoleh kekuatan sendiri, dan akan meningkatkan level dirinya ke tingkat yang dituntut oleh tugas sejarah yang lebih besar.
Banyak perempuan-perempuan muda pertama kali menyadari kebutuhan untuk mengubah masyarakat melalui perjuangan hak-hak perempuan. Perempuan-perempuan mudah itu sadari akan penindasannya ketika penjajah Kolonialisme belanda dan Indonesia. Mereka termotivasi oleh rasa amarah yang disebabkan ketidakadilan dan perlakuan biadab terhadap perempuan oleh Penguasa dan masyarakat yang munafik, yang mengklaim tunduk pada kepatuhan atas demokrasi dan kebebasan.
Kebutuhan Akan Revolusi
Ada banyak tuntutan yang kita bisa dan harus perjuangkan sekarang: segala bentuk diskriminasi di masyarakat dan tempat kerja; pembayaran yang sama atas pekerjaan yang sama nilainya; hak perceraian; perlindungan perempuan atas kekerasan laki-laki; pelecehan seksual, perkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga; perlindungan anak yang berkualitas; dan sebagainya. Semua hal tadi benar-benar dibutuhkan.
Tetapi, perjuangan untuk pembebasan perempuan tidak pernah dapat sepenuhnya terwujud atas dasar suatu masyarakat, di mana yang mayoritas justru didominasi, dikendalikan dan dimanfaatkan oleh para bankir dan kapitalis. Untuk mengakhiri penindasan perempuan, maka perlu mengakhiri penindasan kelas itu sendiri. Perjuangan untuk pembebasan perempuan, karena itu organik terkait dengan perjuangan untuk sosialisme.
Dalam rangka menghadirkan revolusi sosialis, perlu untuk menyatukan kelas pekerja dan organisasi-organisasinya, memotong di semua lini bahasa, kebangsaan, ras, agama dan jenis kelamin. Ini berarti, di satu sisi, bahwa kelas pekerja harus mengambil ke atas dirinya sendiri tugas memerangi segala bentuk penindasan dan eksploitasi, dan menempatkan dirinya di kepala semua lapisan masyarakat tertindas, dan di sisi lain, harus tegas menolak semua upaya untuk membaginya dengan para borjuasi -- bahkan ketika upaya ini dibuat oleh bagian yang tertindas sendiri.
Ada hubungan paralel yang cukup tepat antara posisi Kaum Adam atas terhadap perempuan dan posisi Adam pada persoalan Lokal dan Nasional. Kita punya kewajiban untuk melawan segala bentuk penindasan Masyarakat Lokal dan Nasional. Tapi apakah ini berarti bahwa kita mendukung nasionalisme? Jawabannya adalah tidak. Gerakan pembebasan kekinian adalah internasionalisme yang menyebabkan perubahan Perwujudan Nilai-nilai yang lebih prima. Tujuan kita bukan untuk mendirikan batas baru tapi untuk melarutkan semua perbatasan di atas federasi sosialis dunia.
Borjuis dan kaum nasionalis borjuis kecil memainkan peran merusak dalam membagi kelas pekerja pada garis nasionalis, bermain-main di wilayah perasaan yang diliputi ketidakmengertian dan kebencian yang disebabkan oleh bertahun-tahun diskriminasi dan penindasan di tangan para penindas. Sedikit sekali Perempuan Papua yang mengerti akan Penindasan yang sesungguhnya terhadap tatanan kehidupan perempuan sehingga Kelompok Perempuan jelata ini selalu melancarkan perjuangan yang teguh di satu sisi melawan segala bentuk penindasan nasional, tapi juga di sisi lain terhadap upaya borjuis dan borjuis nasionalis untuk memanfaatkan masalah nasional untuk tujuan demagog. Penulis menegaskan kepada Kaum perempuan, bahwa perjuangan untuk mengakhiri kapitalisme Nasiol dan Global adalah dengan menyatukan kelas pekerja dan juga dengan Rakyat Jelata dari semua bangsa Papua khususnya dan umumnya Dunia, dan ini sebagai satu-satunya jaminan nyata untuk menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan (masalah nasional) di bawah panji federasi sosialis.
Dengan kata lain, Kaum perempuan Saat ini ditantang oleh perkembangan Globalisme dan berperang melawan segala bentuk diskriminasi dan penindasan, kita harus tegas menolak setiap upaya untuk menyajikan masalah sebagai konflik antara laki-laki dan perempuan. Setiap pembagian antara berbagai kelompok pekerja: perempuan terhadap laki-laki, kulit hitam terhadap kulit putih, Katolik terhadap Protestan, hanya dapat merugikan dan membantu melanggengkan perbudakan kelas.
Gerakan Pembebasan Kaum Perempuan dan Pesan
Penulis menegaskan kepada semua bangsa bahwa pentingnya emansipasi perempuan dan perlunya meringankan pekerjaan rumah tangga perempuan sehingga mereka bisa berpartisipasi lebih lengkap dalam menjalankan masyarakat. Namun, kemampuan bangsa untuk memecahkan berbagai masalah utama kehidupan sangat dibatasi oleh rendahnya tingkat perkembangan kekuatan produktif.
Emansipasi nyata perempuan hanya mungkin bila kelas pekerja sedunia secara keseluruhan terlibat dalam emansipasi itu sendiri. Sosialisme akan mengizinkan pengembangan bebas dari kepribadian manusia dan pembentukan hubungan manusia yang sejati antara perempuan dan laki-laki, bebas dari tekanan eksternal yang brutal, baik sosial, ekonomi atau agama. Namun, masyarakat seperti ini, mengandaikan tingkat perkembangan ekonomi dan budaya yang ada di tingkat yang lebih tinggi dari negara-negara kapitalis yang paling maju.
Di Papua, Sebelum Wilayah Papua Barat di caplok kedalam bingkai NKRI fondasi seperti ini tidak ada, mengingat keterbelakangan ekonomi dan kebudayaan masyarakat saat itu. Oleh karena itu, meskipun kemajuan besar dimungkinkan oleh revolusi, posisi perempuan di Papua Barat dilemparkan kembali ke awal, terlebih lagi oleh restorasi kapitalisme Lokal dan Kapitalisme Global. Posisi perempuan di Papua saat ini jauh lebih buruk dari sebelumnya (Tahun 1960 an- 2017). Ini tidak boleh mengejutkan siapa pun. Atas dasar kapitalisme Lokal dan Global, tidak akan pernah ada jalan ke depan, di Papua Barat atau di manapun.
Bangsa Papua dan Perempuan Papua harus Bangkit dan Lawan ketidakadilan yang meraja saat ini di Papua. Tetap pada Posisi Pergerakan perjuangan kebebasan Kebenaran atas haknya sehingga Perempuan Papua dan Dunia bisah sejajar dengan Kaum laki-laki sesuai ketentuan-ketentuan yang tidak bertentangan Hak Asasi Manusia Perempuan.
Penulis: Emelianus Wakei
Disposkan: Suara Wiyaimana Papua