Dari Belanda, Kini Indonesia Dengan Sistem Divide Et Impera di Papua
Sebelum ke penulisan pembahasan ini yang mustinya kita saling memahami dengan penulisan ini entah Anda "Pro NKRI Harga Mati maupun Pro Papua Barat Merdeka Harga Mati" yang sedang kian hari kian memanas ini. Kenapa disini ada kalimat Pro Papua Barat merdeka? karena orang Papua memang sedang berjuang untuk berpisah dari Indonesia dan sedang dilakukan oleh Toko-toko Papua Barat merdeka dan rakyat Papua itu sendri. Dan penulisan ini akan membahas praktek Divide et impera atau Politik pecah belah yang sedang terjadi di Papua dan akan berlanjut, (hingga akhirnya puncak kemenangan kepada salah satunya dari kedua kubu ini).
Praktek-praktek Belanda dengan sistem Divide et impera atau Politik pecah belah yang adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. Yang adalah Indonesia sedang memperaktekan di tanah Papua.
Kini rakyat Papua benar-benar sedang merasakan proyek Politik pecah belah yang sedang diterapkan Indonesia di Papua. Dan bagi Anda yang bukan Papua Anda tidak merasahkan hal ini karena memang Anda bukan orang Papua. Begitu pula saat Belanda menjajah negeri ini, yang merasakan Politik pecah belah adalah rakyat Indonesia bukan Belanda.
Peraktek penjajahan yang dilakukan terhadap rakyat Indonesia dengan Politik pecah belah dan suka adu domba ini menjadi budaya orang Indonesia dari sejak Indonesia bersama dan merdeka dari Belanda pada zamanya. Dan kini Indonesia sedang memperaktekan hal ini di tanah Papua, juga Indonesia tidak sedang merasakan sedang menjajah orang Papua.
Situasi sedang terjadi di Papua adalah Pembunuhan, Intimidasi, Kekerasan, Teror, Pemerkoasaan, Ruang Demokrasi dibatasi, Penangkapan Sewenang-wenang oleh aparat dengan jumlah yang besar, Mengadu domba, Politik pacah bela sesama orang Papua, dll. Sudah begitu, media tidak transparan memberitakan, lalu yang disalahkan orang Papua juga.
Ini adalah budaya orang Indonesia, yang salah dibenarkan yang benar disalahkan. Tipikal orang Indonesia dari dulu kala memang suka adu domba. Majapahit dulu tumbang kelimpungan akibat praktik adu domba. Itulah sebabnya kegemaran orang Indonesia akan adu domba tetap eksis sepanjang masa sampai detik ini, Kalau tidak adu domba, bukan Indonesia namanya.
Indonesia juga adalah negeri penuh rekayasa, mungkin akibat terlalu sering ditekan oleh kaum feodal, komprador, dan imperialisme. Jadi, kalau suatu saat nanti NKRI bubar, jangan salahkan siapa-siapa, salahkan diri kalian yang suka adu domba antara kebenaran dan hak-hak orang lain.
Inilah penyakit kronis dinegeri ini, yang tak penting dibahas, hal yang penting justru diabaikan.
Apabila kita membaca sejarah bangsa ini maka kita akan tahu mengapa hal ini terjadi. Terdapat satu komunitas yang terus menerus berjuang sementara di sisi yang lain berbaris Komunitas-komunitas yang sedang asyik menikmati rejeki hasil pengkhianatan. Lucunya, dengan enteng kita mengatakan semuanya akibat politik divide et impera. Selalu orang lain yang disalahkan dan bukan mengapa kita bisa diadu domba.
Jika kita belajar dari sejarah Praktek-praktek Belanda ini sudah pernah terjadi perlawanan antaranya adalah Perlawanan di berbagai daerah itu antara lain Perang Saparua, Maluku (1817) di bawah pimpinan Pattimura. Perang Padri (1821 – 1837) di Sumatera Barat yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Di Jawa muncul Perang Diponegoro (1825—1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro, didukung oleh Kyai Maja, Sentot Ali Basyah Prawirodirjo, dan Pangeran Mangkubumi. Perang Aceh (1873 – 1904) yang melahirkan tokoh-tokoh terkenal seperti Panglima Polim, Teuku Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, Teuku Ibrahim, dan Teuku Umar. Tokoh perlawanan dalam Perang Banjar, Kalimantan (1858 – 1866) adalah Pangeran Prabu Anom, Pangeran Hidayat, dan Pangeran Antasari. Tokoh Perlawanan di dalam Perang Jagaraga, Bali (1849 – 1906) adalah Raja Buleleng, Gusti Gde Jelantik, dan Raja Karangasem, dan sebagainya. Ini adalah bukti dari satu komunitas yang yang terus menerus berjuang mempertahankan eksistensi idiologi dan politik yang tak sudi di rebut oleh tangan penjajah.
Kini menjadi budaya Indonesia dengan sistem Divide et impera atau Politik pecah belah ini dan memiliki budaya suka adu domba antara kebenaran dan hak-hak orang lain. Indonesia menggunakan budaya yang sudah menjadi darah daging ini sedang diterapkan di Papua. (*)
Akhir penulisan, semoga tidak terjadi perlawanan di Papua seperti sejarah yang sudah dibahas diatas. Kemenangan biarlah secara damai dimenangkan untuk Papua merdeka memiliki kedaulatan atau Indonesia bisa meredam gerakan Papua merdeka ini. Jadi kembali ke awal "Hingga akhirnya puncak kemenangan kepada salah satunya dari kedua kubu ini". [Watikam Kwe]